Minggu, 14 Januari 2024

Bu Siti

 





"Slrrrpphhhh.." Waahh sedap betul secangkir coklat hangat buatanku pagi ini. 


Hari ini aku akan lanjut menjahit baju pesanan Bu Siti dan anak nya Mba Roma. Tadi waktu belanja sayuran di warung Lek Biran, semilir aku mendengar ibu-ibu yang belanja sedang membicarakan Bu Siti. Jadilah aku teringat 4 potong orderan bajunya yang belum aku selesaikan.


Dari apa yg kudengar sepertinya sejak suaminya meninggal dan kedua anaknya pergi merantau setelah menikah, Bu Siti kini semakin menyendiri. Suka mengurung diri dirumah. Ah masa sih? Tak percaya rasanya.


 Bu Siti adalah orang terkaya di Kampung Karang ini usaha suami nya yang terkenal bertangan besi sangatlah banyak dan sukses. Tentu usaha ini Bu Siti lah yang melajutkan. Mengurung diri darimana? Pastilah karena sibuk hingga tak sempat bersosialisasi.


Bu Siti ini termasuk pelanggan setiaku. Hampir setiap bulan beliau memesan baju untuk kujahit, dan meskipun mba Roma sudah tidak lagi tinggal bersama nya, Bu Siti selalu memesankan baju untuknya juga. Mungkin ia kirim ke Mba Roma atau mungkin baju-baju ini disimpan saja untuk dipakai Mba Roma nanti.


Teringat di warung tadi mereka juga menyebutkan kondisi rumah Bu Siti yang terkesan angker, sering terdengar suara-suara aneh saat malam tiba terutama menjelang maghrib, hingga membuat tetangga menjadi gelisah.


Ini juga pasti cerita yang dilebih-lebihkan. Memang beberapa bulan terakhir ini kudengar desas desus di kampung karang kami ini pernah terlihat sosok hantu kuntilanak. Aku tak tahu jelas, bisa jadi hanya cerita orang tua untuk menakut-nakuti anaknya agar tak pulang lewat maghrib sehabis bermain. Tak pernah kutanggapi serius. Hutang jaitanku masih banyak. Tak ada waktu menelusurinya lebih jauh.


Tapi kenapa Sekarang mereka membicarakan rumah Bu Siti yang terkesan angker? Ah sudahlah, yang jelas aku bersyukur dari jaman Abi yang menjahit, oderan tak pernah putus dari Bu Siti, lumayan membantu keuanganku memenuhi kebutuhan harian dan biaya sekolah Adik lelaki ku yang sedang mondok di kota seberang.


Bagiku Bu Siti itu sangat dermawan, walau tak banyak bicara sesekali ia memuji jahitanku atau menasihati agar aku melanjutkan kuliah.

Kupikir, untuk apalah aku kuliah toh tak ada lagi orangtua yg akan memelukku bangga saat wisuda nanti. 


Meskipun begitu Bu Siti selalu melebihkan upah jahitku, tak pernah kuhitung isi amplop yang diberikannya, hanya kuambil sesuai jumlah tarifku saja. Selebihnya kusimpan bersama amplop lainnya di dalam lemari. Setiap kutolak pemberiannya yang berlebih, Bu Siti selalu bilang, tak apa ini untuk nambah-nambah biaya kuliah nak Latifah nanti, katanya.


Begitulah Bu Siti, banyak yang bilang ia sombong tapi aku tahu sebenarnya beliau adalah wanita berhati lembut. Apalagi sejak tinggal sendiri, tentulah ada patah di hati, rumah tak lagi ramai seperti dahulu. Wajarlah jika menyibukkan diri sendiri.


Tak terasa hari beranjak gelap, jaitanku hampir selesai. Besok aku berencana menyerahkan hasil jaitan ini ke rumah Bu Siti, sudah lama rasanya tak berkunjung kesana, semoga apa yg dibicarakan ibu-ibu di warung tadi tidak benar. Bu Siti pasti sehat-sehat saja, dan seperti biasa setiap pulang dari sana aku pasti dibekalkan berbagai macam makanan mulai dari camilan hingga minyak dan beras pun selalu ia bungkuskan untukku. Inilah sebabnya aku jarang kesana, sungkan. Tapi kali ini aku sangat kepikiran mengenainya.


Segera kuberanjak dari meja jaitku untuk mandi dan bersiap sholat maghrib. Setelah menunaikan sholat maghrib akupun hendak menyiapkan makan malamku. Tak lupa sebelumnya aku mengecek kembali pintu dan jendela apa sudah dikunci dengan benar maklumlah anak gadis tinggal sendiri musti extra jaga diri. 


Malam ini rasanya akan turun hujan lagi, suhu udara mulai terasa dingin. Bergegas aku ke pintu depan untuk mengunci dan mengecek lampu teras, sudah nyala apa belum. Sedikit kusibak tirai jendela.


Deg!


Sekilas kulihat sosok putih berkelebat di depan halaman rumahku. Sontak aku menutup tirai kembali. Kok merinding ya. Ah ini gegara cerita ibu-ibu diwarung nih, aku jadi kebawa. Kusibak lagi tirai melihat keluar. Tak ada apa-apa. 


Huuufh... Sebaiknya aku mengaji dulu sebelum makan agar sedikit tenang dan nyaman malam ini. Biarlah sampai isya nanti baru makan malam. 


Belum sempat membuka mushaf, terdengar ketukan di pintu depan.


Tok..tok..tok..!


Siapa ya, rasanya tak ada janji dengan siapapun hari ini. Apa mungkin Pak RT? Entah ada pengumuman iuran keamanan barangkali. 


Kembali kuberanjak berdiri dan meletakan mushaf ku diatas lemari pakaian, tempat biasa kumeletakkannya.


Segera aku keluar dengan masih mengenakan mukena. Kubuka pintu dan melongok keluar.


Tak ada siapapun. 


Eh, apa aku kelamaan buka pintu, Pak RT lantas pulang. Penasaran siapa tau belum jauh, kususul  hingga halaman depan. Melongok ke kiri dan kanan jalan. 


Tak ada seorangpun. 


Kheeerr... Bulu kuduk ku meremang. Masuk saja lah. Tapi saat berbalik badan. 


"Astagrfirullohaladzim!.. Bu Siti?"


Jantungku hampir copot, ternyata Bu siti sudah berdiri dibelakangku dari tadi. Rupanya beliau yang mengetuk pintu. Kebetulan sekali, seharian kepikiran, eh ini malah datang kerumah, apa mau ambil jaitan ya.


"Bu masuk yuk.. Saya kira siapa.. Mari Bu.."


Kupersilahkan beliau masuk. Tapi saat aku hendak melangkah Bu Siti tak beranjak se senti pun. Hanya diam menatapku. Aku pun jadi terpaku balas menatapnya. Kuperhatikan rambutnya tumben berantakan, blouse putih yang dikenakannyapun sedikit tak rapi, seperti telah dipakai lama tak berganti, kusut. Aneh tak seperti biasanya.


Kutelan ludah demi kembali bersuara aku hendak mengajaknya masuk lagi ke dalam rumah tapi....


"Laatifaaahh...."


Lirih suaranya menyebut namaku mulutnya yg terbuka lantas terus menyengir kosong sambil tetap menatapku... Nanar? 


Ya Allah... Rasa takut mulai merayapi tengkuk. Naluri ingin sekali menghindar darinya. Fokus mataku menatap pintu rumah yang masih terbuka lebar, kuhitung berapa jarakku dari sini kesana. Aku takut sekali Ya Allah.... 


Sepertinya Bu Siti menyadari niatku, dia menangkap tatapan mataku yang mengarah ke pintu. Lalu ia pun dengan cengiran aneh yang masih terpasang diwajahnya, menolehkan kepalanya perlahan kebelakang, ke arah pintu. 


Aku terpaku melihat gerakan kepalanya yang terus menoleh kebelakang, terus dan terus hingga suara kletakan lehernya terdengar nyaring ditelingaku. Apa dia akan terus menoleh seperti itu? Sementara badannya masih menghadap ke arahku? Hentikan! Stop! Jangan menoleh lagi Bu! Seru ku dalam hati. Tiba-tiba.


BRUKK!


Entah keberanian dari mana aku menghambur kedepan memeluk tubuhnya. 


"Buuu... Bu Siti... Ibu kenapa buuu?" kupeluk ia erat-erat, sedikit mengguncang tubuhnya. 


"Sadar buuu... sadaaar...  Istighfar... Astaghfirulloohaladzim... Astaghfirulloohaladzim... " Aku mencoba menuntunnya beristighfar berulang kali sambil terus memeluknya erat berharap lehernya tak jadi patah kebelakang.


Tiba-tiba aku merasakan kedua tangannya bergerak lalu mencengkeram kedua bahuku. 


"Aaargh!"


Aku terhempas kebelakang dengan keras, punggung dan kepalaku terbanting ke tanah, sekejap rasanya tak mampu mengirup udara. Dadaku naik turun demi mengambil nafas sementara kepala ku berdenyut sakit sekali.


Ya Allah apa aku akan mati? Menggenang air di sudut mataku, lalu aku teringat adik ku bagamana dia kalau aku mati?


Segera kupaksa badanku untuk duduk, aku tak boleh mati. Kulihat sekeliling tak ada lagi Bu Siti kemana dia? Tak berpikir lebih lama segera  aku bangkit dan berlari menuju pintu rumah yang masih terbuka lebar. 


Brak! Blam! Cekrek! Cekrek! 


Ku kunci dua kali pintu depan dan langsung masuk ke kamar bergelung dibalik selimut dengan tubuh yang gemetaran. Berharap esok pagi segera datang. Besok aku harus ke rumah Bu Siti, harus. Aku akan memastikan bahwa dia baik baik saja, bahwa tadi itu bukan dia. 


Besoknya aku demam tiga hari, tak mampu keluar rumah. Terpaksa kutunda mengunjungi Bu Siti.


Namun aku tak pernah menyangka bahwa malam itu adalah kali terakhir aku melihat Bu Siti, karna kabar selanjutnya yg kudapat ketika berkunjung kesana adalah kabar yang paling mengerikan sekaligus menyedihkan untukku, mengenai Bu Siti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar