Rabu, 20 September 2023

PILU LAILA



 


"Maafkan, Laila Bu..." 

Kembali aku memohon kepada Ibu. Berdiri disini menatap punggungnya yang ringkih, tak berani duduk berseberangan dengannya dimeja makan ini.

Ibu terus diam tak mau lagi bicara padaku, sungguh besar dosa yang kuperbuat, aku tahu dan aku sangat menyesal, jika saja waktu dapat diputar ulang tentu Aku akan memilih jalan lain.

Kulihat bahu Ibu mulai bergetar perlahan, menangis. Teriris hatiku melihat Ibu seperti ini.

Ibu, Laila harus bagaimana agar Ibu tidak marah lagi? Perlahan kudekati, ragu kusentuh kaki nya sambil berlutut. Namun Ibu tersentak dan beranjak pergi meninggalkanku menuju ke kamar dan menangis disana. Ya Allah ingin mati saja rasanya. Mati berkali-kali pun aku rela asal Engkau hapuskan duka di wajah Ibuku tersayang. Aku rindu melihat senyumnya yang teduh, rindu bercanda lagi di dapur ini.

Suara deritan kursi yang kugeser kemudian, terdengar rintih menggurat suasana hatiku yang kini hanya bisa duduk termenung berpangku tangan. Apa yang akan aku lakukan selanjutnya? Entahlah aku tak tahu lagi, sementara Ibu semakin kurus akibat memikirkan masalahku.

Baiklah akan kucoba membawa makanan ke kamarnya, semoga Ibu mau bicara sambil kusuapkan nanti.


Ctek!


Segera kunyalakan kompor hendak memanaskan lauk di dalam panci. Namun suara dentaman pintu mengejutkanku dan tiba-tiba saja Ibu keluar dari kamarnya yang tak jauh dari dapur, tergopoh Ibu menuju ke arahku lalu secepat kilat mematikan kompor, lantas terdiam menunduk sambil mencengkeram pinggiran meja kompor.


"Buu... Ibu makan yaa..." Walau masih terkejut aku berusaha membujuk, kulihat Ibu seolah menahan emosi. "Bu, kalau ibu tak mau mak..."


"Sudah! Cukup! Laila... Tak bisakah kau tenang? tak bisakah Laila...?"


"Ibu... Aku hanya ingin kita..."


"Pergilah... Pergilah nak... Ibu mohon..."


"Ibu ingin aku pergi? Kenapa bu? Lantas bagaimana nasibku nanti jika tak ada Ibu... "


Baru saja hendak memulai komunikasi, Ibu pun berlalu begitu saja, kembali menuju kamar tanpa menoleh ke arahku.

Akupun kembali terdiam lesu. Sesaat ketika hendak masuk ke kamarnya, aku dan Ibu mendengar ketukan pintu ruang depan.


"Assalamualaikuum..." Suara Mas Arfan, kakakku satu-satunya.


"Siapa?" Ibu tak jadi masuk ke kamar.


"Oh, itu sepertinya Mas Ar..." sahutku terputus.


"Arfan!" seru Ibu dan bergegas membuka pintu menyambut Mas Arfan.


"Ibu... Gimana kabar Ibu? Masih malas makan? Ibu semakin kurus kulihat. Makanlah Bu demi kesehatan Ibu juga" Cecar Mas Arfan sambil merangkul Ibu mengajaknya duduk di sofa dekat pintu. Aku hanya memperhatikan mereka dari balik tirai dapur yang tipis ini, malas aku menemui Mas Arfan dan istrinya Mba Nina.


Srak!


Sengaja kugeser tirai dapur hingga menutup penuh, hanya untuk memberi tahu bahwa aku ingin didapur saja.

Spontan Mas Arfan dan Mba Nina menoleh ke arah dapur dengan mata melotot. Ah, tak perlu lah kalian ikut-ikutan marah. Sungguh aku juga sudah usaha agar ibu mau makan kok.


"Bu, apa ... dia masih disini?" Lirih mas Arfan bersuara, hampir berbisik malah. Ibu hanya diam menatap kosong meja tamu dihadapannya.


Mas Arfan lantas meraih tangan ibu dan dengan tegas berkata "Ibu! Kali ini Ibu harus dengarkan Arfan. Ibu ikut Arfan hari ini juga titik, tinggal sama Arfan Bu! Jangan berlarut-larut lagi."


Apa? Mas Arfan mau membawa Ibu? Seenaknya saja memutuskan begitu, apa maksudnya, tak dia pandang aku yang selama ini tinggal berdua dengan Ibu. Sebegitunyakah kau membenciku Mas?


"Tidak Fan, Laila masih membutuhkan ibu disini." 


Nah, benar itu Bu, jangan pergi ke rumahnya, aku tak bisa ikut kesana. Entah kenapa aku pun tak dapat menjelaskannya kepada ibu, yang penting aku tak mau ibu pindah kesana.


"Ibu apa-apa-an sih bicara begitu. Mau sampai kapan Ibu dengan pendirian Ibu ini, aku khawatir sama kesehatan Ibu, ayolah Bu" Bujuk Mas Arfan.


"Fan... Tadi... " Ragu Ibu berkata, "Tadi... Ibu melihatnya bersimpuh dibawah meja makan nak..."

"Astarghfirullahaladzim!" kompak Mas Arfan dan Mba Nina mengucap. Heh, memangnya kenapa kalo aku memohon maaf kepada Ibu?


"Bu ini sudah keterlaluan Bu, ini benar-benar diluar nalar, sudah lewat 40 hari Ibu masih saja diganggu olehnya? Dan ibu diam saja masih mau menetap dirumah angker ini?"


Hah?! Apa? Tunggu dulu, apa yang 40 hari? angker? Mas Arfan ngomong apa sih.


"Hiks... Fan... Ughhuuhuuu... Ibu tak bisa meninggalkannya Fan, dia masih membutuhkan Ibu, Ibu bisa merasakan arwahnya disini, dia belum tenang disana, dia masih disini.. Fan Oouughhuuhuu... Laila anakkuu... huughuuu..."


Apa ini?! Apa yang mereka bicarakan? Aku tak mengerti, Aku tak mau mengerti.Akupun menghambur keatas tak ingin mendengar apapun lagi.

"Ikhlaskan Bu... Ikhlaskan Laila...." Masih kudengar suara Mas Arfan, apa-apaan dia, Aku masih disini, masih dirumah ini. Iya kan...? Bu?


Kulompati anak tangga sekaligus dua-dua, dadaku terasa sesak tak kuasa aku menahan tangis. Tersandung-sandung menuju kamarku. Rasa takut mulai menyergap atas kemungkinan apa yang terjadi sebenarnya.


Aku semakin melolong keras, takut sangat takut, biarlah mereka mendengar tangisku siapa tahu Ibu mengejar kesini, menghiburku.

Begitu sampai di dalam kamar kilasan memori menyerangku tiada ampun. Mulai dari ingatan akan hangatnya tangan kokoh yang memeluku erat, kemudian wajah itu, wajah tampan yang sangat aku cintai, harapan masa depanku, tiba-tiba berubah dingin dan menghindar. Dia berkeras pergi meninggalkanku yang sedang berbadan dua.


Lalu wajah Ibu dan Mas Arfan yang terluka, Ibu menangis tak percaya, Mas Arfan memukul daun pintu hingga tangannya berdarah. Sorot kecewa Ibu mengalahkan sakitnya tamparan keras tangannya. "Kau bukan anakku Laila..." Ucap nya sedih, melemahkan jiwa, menyurutkan semangat.


Semua ini karena mahluk yangg hidup di rahimku! Andai ia tak ada aku tak akan kehilangan segalanya. Iya ini semua karena janin yang tak diharapkan ini. Tak seharusnya ia hidup. Ia tak boleh hidup.


Sedikit saja tak perlu banyak, cairan biru terang ini akan mengubah keadaan. Cukup secangkir kecil maka ia akan runtuh dengan sendirinya, iya aku yakin, sedikit saja agar aku tak ikut terluka lebih dalam. Semua akan beres, semua akan kembali seperti semula.


Glek! Glek! Glek!


Tiga tegukan cepat aku selesaikan. Sensasi terbakar serta merta menyerang tenggorokanku, terus menuju perutku yang mendadak keram, mengerut lalu bergolak panas. Kini seluruh sendi dan nadiku perlahan susul menyusul tertarik tegang, putus tercerabut. Otakku mendidih, mataku melotot tenggorokan kisut mengering. Aku tersungkur tajam di lantai kamar mandi, jemariku mencakar-cakar leher demi mengurai cekikan tak kasat mata yang memutus udara.


Disinilah aku... Menatap sesal botol cairan pembersih lantai yang ikut terbaring lemah disampingku.


Disinilah aku... Merintih, di akhir hidupku yang terus berulang-ulang entah sampai kapan.

Mati berkali-kali.

Top of Form

Bottom of Form

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar