"Maafkan, Laila Bu..."
Kembali aku memohon kepada Ibu. Berdiri disini menatap punggungnya yang ringkih, tak berani duduk berseberangan dengannya dimeja makan ini.
Ibu terus diam tak mau lagi bicara padaku, sungguh besar dosa yang kuperbuat, aku tahu dan aku sangat menyesal, jika saja waktu dapat diputar ulang tentu Aku akan memilih jalan lain.
Kulihat bahu Ibu mulai bergetar perlahan, menangis. Teriris hatiku melihat Ibu seperti ini.
Ibu,
Laila harus bagaimana agar Ibu tidak marah lagi? Perlahan kudekati, ragu
kusentuh kaki nya sambil berlutut. Namun Ibu tersentak dan beranjak pergi meninggalkanku menuju ke kamar dan menangis disana. Ya Allah ingin mati saja rasanya. Mati
berkali-kali pun aku rela asal Engkau hapuskan duka di wajah Ibuku tersayang.
Aku rindu melihat senyumnya yang teduh, rindu bercanda lagi di dapur ini.
Suara deritan kursi yang kugeser kemudian, terdengar rintih menggurat suasana hatiku yang kini hanya bisa duduk termenung berpangku tangan. Apa yang akan aku lakukan selanjutnya? Entahlah aku tak tahu lagi, sementara Ibu semakin kurus akibat memikirkan masalahku.
Baiklah
akan kucoba membawa makanan ke kamarnya, semoga Ibu mau bicara sambil kusuapkan
nanti.
Ctek!
Segera kunyalakan kompor hendak memanaskan lauk di dalam panci. Namun suara dentaman pintu mengejutkanku dan tiba-tiba saja Ibu keluar dari kamarnya yang tak jauh dari dapur, tergopoh Ibu menuju ke arahku lalu secepat kilat mematikan kompor, lantas terdiam menunduk sambil mencengkeram pinggiran meja kompor.
"Buu... Ibu makan yaa..." Walau masih terkejut aku berusaha membujuk, kulihat Ibu seolah menahan emosi. "Bu, kalau ibu tak mau mak..."
"Sudah!
Cukup! Laila... Tak bisakah kau tenang? tak bisakah Laila...?"
"Ibu...
Aku hanya ingin kita..."
"Pergilah...
Pergilah nak... Ibu mohon..."
"Ibu
ingin aku pergi? Kenapa bu? Lantas bagaimana nasibku nanti jika tak ada Ibu...
"
Baru saja
hendak memulai komunikasi, Ibu pun berlalu begitu saja, kembali menuju kamar
tanpa menoleh ke arahku.
Akupun
kembali terdiam lesu. Sesaat ketika hendak masuk ke kamarnya, aku dan Ibu
mendengar ketukan pintu ruang depan.
"Assalamualaikuum..."
Suara Mas Arfan, kakakku satu-satunya.
"Siapa?"
Ibu tak jadi masuk ke kamar.
"Oh, itu sepertinya Mas Ar..." sahutku terputus.
"Arfan!" seru Ibu dan bergegas membuka pintu menyambut Mas Arfan.
"Ibu...
Gimana kabar Ibu? Masih malas makan? Ibu semakin kurus kulihat. Makanlah Bu demi
kesehatan Ibu juga" Cecar Mas Arfan sambil merangkul Ibu mengajaknya duduk di
sofa dekat pintu. Aku hanya memperhatikan mereka dari balik tirai dapur yang
tipis ini, malas aku menemui Mas Arfan dan istrinya Mba Nina.
Srak!
Sengaja kugeser tirai dapur hingga menutup penuh, hanya untuk memberi tahu bahwa aku ingin didapur saja.
Spontan
Mas Arfan dan Mba Nina menoleh ke arah dapur dengan mata melotot. Ah, tak perlu
lah kalian ikut-ikutan marah. Sungguh aku juga sudah usaha agar ibu mau makan
kok.
"Bu,
apa ... dia masih disini?" Lirih mas Arfan bersuara, hampir berbisik
malah. Ibu hanya diam menatap kosong meja tamu dihadapannya.
Mas Arfan
lantas meraih tangan ibu dan dengan tegas berkata "Ibu! Kali ini Ibu harus
dengarkan Arfan. Ibu ikut Arfan hari ini juga titik, tinggal sama Arfan Bu!
Jangan berlarut-larut lagi."
Apa? Mas
Arfan mau membawa Ibu? Seenaknya saja memutuskan begitu, apa maksudnya, tak dia
pandang aku yang selama ini tinggal berdua dengan Ibu. Sebegitunyakah kau
membenciku Mas?
"Tidak Fan, Laila masih membutuhkan ibu disini."
Nah, benar itu Bu, jangan pergi
ke rumahnya, aku tak bisa ikut kesana. Entah kenapa aku pun tak dapat menjelaskannya kepada ibu, yang penting aku tak mau ibu pindah kesana.
"Ibu
apa-apa-an sih bicara begitu. Mau sampai kapan Ibu dengan pendirian Ibu ini,
aku khawatir sama kesehatan Ibu, ayolah Bu" Bujuk Mas Arfan.
"Astarghfirullahaladzim!"
kompak Mas Arfan dan Mba Nina mengucap. Heh, memangnya kenapa kalo aku memohon
maaf kepada Ibu?
"Bu
ini sudah keterlaluan Bu, ini benar-benar diluar nalar, sudah lewat 40 hari Ibu
masih saja diganggu olehnya? Dan ibu diam saja masih mau menetap dirumah angker
ini?"
Hah?!
Apa? Tunggu dulu, apa yang 40 hari? angker? Mas Arfan ngomong apa sih.
"Hiks...
Fan... Ughhuuhuuu... Ibu tak bisa meninggalkannya Fan, dia masih membutuhkan
Ibu, Ibu bisa merasakan arwahnya disini, dia belum tenang disana, dia masih
disini.. Fan Oouughhuuhuu... Laila anakkuu... huughuuu..."
"Ikhlaskan
Bu... Ikhlaskan Laila...." Masih kudengar suara Mas Arfan, apa-apaan dia,
Aku masih disini, masih dirumah ini. Iya kan...? Bu?
Kulompati anak tangga sekaligus dua-dua, dadaku terasa sesak tak kuasa aku menahan tangis. Tersandung-sandung menuju kamarku.
Rasa takut mulai menyergap atas kemungkinan apa yang terjadi sebenarnya.
Begitu
sampai di dalam kamar kilasan memori menyerangku tiada ampun. Mulai dari
ingatan akan hangatnya tangan kokoh yang memeluku erat, kemudian wajah itu,
wajah tampan yang sangat aku cintai, harapan masa depanku, tiba-tiba berubah
dingin dan menghindar. Dia berkeras pergi meninggalkanku yang sedang berbadan
dua.
Lalu
wajah Ibu dan Mas Arfan yang terluka, Ibu menangis tak percaya, Mas Arfan memukul
daun pintu hingga tangannya berdarah. Sorot kecewa Ibu mengalahkan sakitnya
tamparan keras tangannya. "Kau bukan anakku Laila..." Ucap nya sedih,
melemahkan jiwa, menyurutkan semangat.
Semua ini
karena mahluk yangg hidup di rahimku! Andai ia tak ada aku tak akan kehilangan
segalanya. Iya ini semua karena janin yang tak diharapkan ini. Tak seharusnya
ia hidup. Ia tak boleh hidup.
Sedikit
saja tak perlu banyak, cairan biru terang ini akan mengubah keadaan. Cukup
secangkir kecil maka ia akan runtuh dengan sendirinya, iya aku yakin, sedikit
saja agar aku tak ikut terluka lebih dalam. Semua akan beres, semua akan
kembali seperti semula.
Glek! Glek!
Glek!
Tiga
tegukan cepat aku selesaikan. Sensasi terbakar serta merta menyerang
tenggorokanku, terus menuju perutku yang mendadak keram, mengerut lalu
bergolak panas. Kini seluruh sendi dan nadiku perlahan susul menyusul tertarik
tegang, putus tercerabut. Otakku mendidih, mataku melotot tenggorokan kisut
mengering. Aku tersungkur tajam di lantai kamar mandi, jemariku mencakar-cakar leher
demi mengurai cekikan tak kasat mata yang memutus udara.
Disinilah
aku... Menatap sesal botol cairan pembersih lantai yang ikut terbaring lemah
disampingku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar